Minggu, 27 April 2008

TIGA SERANGKAI MUSUH ISLAM

Oleh: Zaldy Munir


DAHULU peradaban Islam menguasai dan umat Islam menjadi umat pelopor dan pimpinan terdepan. Kehidupan Islam pada awal kecemerlangan peradaban adalah kehidupan yang penuh dengan vitalitas dan pembaruan diberbagai aspeknya. Dalam kehidupan beragama, ilmu pengetahuan, sastra, pembangunan, kerajinan, dan huruf cetak yang beraneka ragam, serta dibidang-bidang peradaban yang lain.

Sementara itu, kehidupan peradaban Islam dalam beberapa abad terakhir mengalami pembusukan, airnya berubah warna, bau maupun rasanya. Lambat laun negeri-negeri Islam yang dahulu menjadi pelopor peradaban, menjadi ajang kebiadaban, satu persatu Islam menjadi hancur. Para musuh-musuh Islam berbagaimacam cara meraka lakukan untuk meghancurkan Islam, yaitu dengan jalan, Kritenisasi, orientalisme, dan imperaisme. Ini menjadi tiga serangkai musuh Islam.

Kristenisasi, orientalisme, dan imperalisme (penjajahan) menjadi tiga serangkai, yang tidak dapat dipisahkan. Masing-masing mempunyai tugas dan misi untuk menghancurkan umat Islam. Kristenisasi bertugas untuk merusak akidah, orientalisme memporak-porandakan pemikiran Islam, dan penjajahan melumpuhkan lewat fisik. Setalah itu, mulailah kemunduran umat sedikit demi sedikit, hingga berunjung pada stagnasi dan keterbelakangan.

Dalam firman-Nya Allah SWT sudah menegaskan :
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (As-Saff: 8)

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti milah (agama, perilaku, pola pikir, dan lain sebagainya) mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). ”Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah : 120)

Mudah-mudahan umat Islam terhindar dari tingkah sangat buruk yang amat berbahaya dan telah kekecam oleh Allah SWT itu. Hanya Allah-lah tempat kita berlindung dan meminta pertolongan. Jauhkanlah kami ya Allah dari segala keburukan, yang lahir maupun yang batin. Amien. Tiada daya dan upaya untuk menghindari aneka keburukan yang mereka sebar-sebarkan itu, kecuali dengan pertolongan-Mu, ya Allah. ***

PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN BIBLE

Oleh : Zaldy Munir


TAK dapat diingkari, Islam dan Kristen adalah agama yang diterima secara luas di dunia dewasa ini. Masing-masing dari kedua agama ini (Islam dan Kristen) mempunyai kumpulan kitab yang khusus. Dokumen-dokumen tersebut merupakan dasar kepercayaan setiap penganut agama itu, baik agama Islam atau agama Kristen. Dokumen tersebut bagi mereka merupakan penjelamaan material dari wahyu Illahi bersifat langsung, seperti yang diterima oleh Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Musa a.s. Atau wahyu yang tidak langsung, seperti Nabi Isa a.s dan Nabi Muhammad saw. Nabi Isa berkata atas nama Bapa dan Nabi Muhammad menyampaikan wahyu-wahyu Allah kepada seluruh manusia yang ia terima melalui Malaikat Jibril.

Di samping itu, untuk mempelajari atau mengetahui agama Islam dan Kristen, dari kedua agama tersebut mempunyai sumber ajaran yang perlu diketahui. Agama Islam mempunyai dua sumber ajaran, yaitu: Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran ialah kitab terakhir Petunjuk Illahi yang diwahyukan oleh Allah Yang Maha Tinggi kepada Nabi terakhir Muhammad saw, melalui Malaikat Jibril untuk menolong dan sebagai aturan sempurna bagi manusia.

Kata qur’an secara literal berari “bacaan” atau resitasi (pembacaan), tetapi pengertian teknisnya, berarti penerima petunjuk Illahi. Tujuan utama keberadaan wahyu ini adalah membawa umat manusia dari kegelapan menuju jalan yang diridhai Allah SWT. (Media Dakwah, Juli 1995). Sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut ini.

Yang Artinya : “Alif, laam raa, (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim [14] : 1).

Selanjutnya, ‘agama Kristen sama halnya dengan agama Islam’. Agama Kristen mempunyai sumber ajaran atau kitab yang mereka imani. Hj. Irene Handono, dalam karangannya; Islam Dihujat (2004:333). mengatakan. “Kitab agama Kristen, dikenal dengan sebutan Alkitab atau Bibel (Inggris: Bible, Jerman: Bijbel), terdiri dari dua bagian kitab, yaitu Kitab Perjanjian Lama (PL) dan Kitab Perjanjian Baru (PB)”. Selain itu, Imam Muchlas dan Masyhud SM, dalam bukunya; Al-Quran Berbicara Tentang Kristen, (2001:74). Ia menjelaskan lebih lanjut. “Sebutan Bible (Bibel) jika kita menyelusurinya, sebutan dalam bahasa Ibrani tertua untuk kitab suci ini adalah Ha’ sefarim (Buku-buku). Sebutan ini dialihkan ke istilah Latin-Yunani Ta Biblia. Kata Yunani Biblos atau Biblion aslinya berarti gulungan buku yang dibuat dari papirus, kemudian artinya menjadi teks itu sendiri. Melalui bahasa Latin, kata Ta Biblia terserap ke dalam beberapa bahasa menjadi Bible, sedangkan Al-Quran menyebutnya Alkitab”.

Pro & Kontra
Pro-Kontra pornografi tak ada habis-habisnya. Apa dan bagaimana pornografi itu belum ada batasan yang jelas. Bahkan hingga saat ini, batasan pornografi masih beragam dan masih menjadi perdebatan publik. Dalam kamus Inggris-Indonesia karya Hasan Shadily porno diartikan sebagai gambar atau bacaan cabul. (Harian Terbit, 24/1/06). Di pihak lain, dengan mengatasnamakan seni, selalu berkata “Ini seni, bukan pornografi”. Mereka berlindung di balik seni yang “agung”, demi menghalalkan karya mereka yang dapat merusak moral. Orang-orang awam mungkin akan berpikir bahwa seni selalu identik dengan seksualitas dan pornografi. (Koran Sindo, 17/3/06).

Lepas dari itu, kita berpendapat bahwa masalah ini sangat tidak layak untuk diperdebatkan. Sebab pornografi identik dengan zina, sedangkan zina tidak ada agama pun yang merestuinya. Terlebih lagi agama Islam yang menganggap zina sebagai sesuatu yang keji dan dosa besar. Demikian juga dengan akal sehat, menolak zina dan pornografi. Tidak ada yang merestui tersebarluasnya pornografi, kecuali mereka yang telah dibutakan oleh Allah SWT mata hatinya. Mengizinkan terbitnya majalah pornografi berarti membuka lebar-lebar pintu perzinahan.

Selanjutnya, menurut prespektif Al-Quran. Batasan pornografi sudah sangat jelas sekali. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut ini.

Yang Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiyasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (QS. An-Nur [24] : 31)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman.
Yang Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mu’mun: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab [33] : 59)

Ibnu Abbas, dan ‘Aisyah r.a. menafsirkan firman Allah SWT “… Illaa maa zhahara minhaa…” (An-Nur [24] : 31), kecuali yang nampak darinya wajah dan kedua telapak tangan, artinya boleh nampak dari anggota tubuh wanita muslimah hanyalah wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan, sedangkan anggota tubuh yang lainnya wajib ditutup.

Penafsiran ayat tersebut, wajah dan kedua telapak tangan adalah pendapat yang masyhur dari Jumhur Ulama, mufassirin diantaranya, Ibnu Umar, ‘Athaa, Ikrimah, Saad bin Zubair, Abu Asy-Sya’tsaa’, Ad Dhihak, Ibrahim An Nakha’i dan yang lainnya. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Kemungkinan Ibnu Abbas dan yang mengikutinya ingin menafsirkan “… Illaa maa zhahara minhaa…” dengan wajah dan dua telapak tangan dan ini adalah masyhur dari Jumhur Ulama”. (Media Dakwah, Desember 1996).

Disamping itu, Mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, mengatakan “Aurat wanita muslimah seluruh badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, tepatnya dari ujung jari sampai pergelangan tangan, sedangkan anggota tubuh lainnya termasuk katagori aurat wajib ditutup”, berdasarkan surat (QS. An-Nur [24] : 31).

Demikian juga, hal senada dikemukakan Mazhab Hanafiyah, “Seluruh tubuh wanita aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.” Dalil yang menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat, dalam hal ini dalil-dalil mazhab Hanafiyah tidak berbeda dengan dalil-dalil mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, yaitu surat (QS. An-Nur [24] : 31).

Di samping itu, batasan pornografi menurut perspektif Bible sama seperti yang dijelaskan di dalam Al-Quran. Di dalam Al-Quran wanita diwajibkan untuk memakai Jilbab, sedangkan di Bible wanita juga di wajidkan untuk memakai Jilbab. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Bible.

- Bible. Kejadian, pasal 24 ayat 64-65
64) Ribka juga melayangkan pandanganya dan ketika dilihatnya Ishak, turunlah ia dari untanya. 65) Katanya kepada hamba itu: “Siapakah laki-laki itu yang berjalan di padang ke arah kita?” Jawab hamba itu: “Dialah tuanku itu”. Lalu Ribka mengambil telekungnya dan bertelekunglah ia”.

- Bible. 1 Korintus, pasal 11 ayat 4-6
4) Tiap-tiap lelaki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. 5) Tetapi tiap-tiap perempaun yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. 6) Sebab jika perempuan tidak mau manudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.

Sebagai penjelasan di atas, yaitu Kejadian, pasal 24 ayat 64-65 dijelaskan: “… Lalu Ribka mengambil telekungnya dan bertelekunglah ia”. Kata “Telekung” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W. J. S. Poerwadarminta. “Telekung” diartikan: “Selubung” badan wanita (ketika sembahyang). Selain itu, kata “Selebung” diartikan: Kain penutup kepala (tubuh, muka); Berselubung: Mamakai selubung (berkerudung, berselimut, bertutup kepala); mis. Dilihat seseorang berselubung kain putih.

Selanjutnya, 1 Korintus, pasal 11 ayat 4-6 dijelaskan: “…Sebab jika perempuan tidak mau manudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya…”. Kata “Tudung/Menudungi” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W. J. S. Poerwadarminta. “Tudung” diartikan: Barang apa yang dipakai untuk menutup atau melingkupi (bagian sebelah atas, kepala). Bertudung: Memakai tudung, bertutup dengan tudung. Menudungkan: Bertudung, menutup dengan tudung; mis. Anaknya itu ditudunginya dengan kain.

Pendek kata, kata Telengkung dan Tudung dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W. J. S. Poerwadarminta diartikan: penutup kepala, barang yang dipakai untuk menutup kepala, atau kain penutup kepala. Dari penjelasan di atas, yaitu kata Telengkung dan Tudung dimaksudkan sebagai Jilbab.

Wajib Menutup Aurat
Secara singkat dari penjelasan di atas, bisa diambil sebuah simpulan. Bahwa menutup aurat di luar dan di dalam Shalat hukunya wajib. Seluruh anggota tubuh wanita yang telah baligh adalah aurat, kecuali yang boleh nampak wajah dan kedua telapak tangan. Di samping itu, dari kedua agama tersebut, baik agama Islam atau Kristen mewajibkan wanita untuk memakai Jilbab. Maka, penegasan ini perlu diketahui khalayakramai, mengingat pentingnya memakai Jilbab. Pakaian jilbab berfungsi untuk memelihara kehormatan, menjaga kesucian, dan keteguhan iman bagi memakainya. Bagi wanita muslimah, jilbab menjadi pakaian kebesaran yang memiliki nila-nilai luhur, menampilkan keayuan, keanggunan, dan menawan.

Di samping itu, Hj. Bainar, dalam karyanya; Membantu Remaja Menyelami Dunia Dengan Iman dan Ilmu, (2005:178,178). Ia menjelaskan. “Wanita muslimah yang berjilbab secara konsisten akan melahirkan sikap pribadi yang teguh dan tawadduh. Di tempat lain, mereka yang berjilbab diberi stigma yang kurang mengenakan, dibilang sok moralis, sok suci, sok alim sehingga mereka minder, malu, dan risih dengan pakaian muslimahnya. -Tidak hanya itu, terkadang dituduh ekstrimis, Islam garis keras,- dan wanita yang berjilbab dihubung-hubungkan dengan terorisme, Al-Qaeda dan lainnya. Ini memberikan angin segar demi berkembangnya pakaian yang kurang Islami, you cen see dan pakaian minim itu lebih mendapat tempat di hati masyarakat, padahal pakaian muslimah ini menjamin kesucian dan meredam mata laki-laki yang jalang.

Ringkasnya, dengan berbusana muslim (memakai jilbab), paling tidak meminimalisir masyarakat, terutama kalangan muda, akan terjadinya perbuatan amoral dalam masyarakat. Salah satu dampak negatif dari globalisasi dan kemajuan teknologi informasi adalah merabaknya budaya Barat, misalnya dalam segi berpakaian dan pergaulan. Dengan demikian, berbusana muslim (memakai jilbab) dapat memelihara pandangan lawan jenisnya sehingga tidak menimbulkan bencana (kemaksiatan)”.

Satu hal yang sepatutnya kita ingat selalu, bahwa keselamatan bangsa ini adalah tanggung jawab kita bersama. Perbuatan segelincir orang yang menyebarluaskan pornografi dan kecabulan akan mengundang turunnya kutukan dan azab Allah SWT. Dan apabila adzab Allah tersebut turun, maka tidak hanya menimpa para penerbit media pornografi itu saja, tetapi akan menimpa seluruh rakyat. (Majalah Indonesia Islami, edisi perdana, Maret 2006). Hal ini sebagaimana diperingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya.

Yang Artinya: “Dan periharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Anfal [8] : 25)

Oleh karena itu, siapa saja yang peduli dengan keselamatan bangsa ini wajib mencegah atau memberantas pornografi dan majalah-majalah cabul. Cukuplah musibah demi musibah yang telah beruntun menimpa bangsa ini menyadarkan kita akan ketelodoran kita. Itu semua adalah teguran Allah SWT Yang Maha Kuasa kepada bangsa ini agar mereka kembali ke jalan yang benar.***

Ket : Artikel ini pernah dimuat di Majalah Mimbar Ulama. No. 329 Rabiul Akhir 1427 H / April 2006 M).

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN AGAMA-AGAMA

Oleh : Zaldy Munir


Pendahuluan

PERKAWINAN merupakan naluri manusia sejak adanya manusia itu sendiri untuk memenuhi hajat kehidupannya dalam melakukan hubungan biologis dalam berkeluarga. Tentu saja dalam pernikahan itu menyangkut sedikitnya hubungan antar dua pihak, -- yang dalam istilah hukum disebut hubungan hukum, dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban--, maka timbul hukum objektif yang mengaturnya yang disebut hukum perkawinan.

Oleh karena bagi para pemeluk agama, perikatan perkawinan itu bukan dianggap perikatan biasa, tetapi bersifat sakral yang mengandung ajaran-ajaran agama bagi pemeluknya, tentu saja mereka tidak dapat melepaskan diri pada ketentuan-ketentuan hukum objektif yang diatur dalam agama masing-masing.

Atas landasan itu, maka dirumuskan UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang dalam pasal 1 berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam asal 2 dinyatakan : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”.

Dalam penjelasan atas pasal 1 disebutkan : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. (Media Dakwah, September 1997, h. 67-68)

Sedang dalam Penjelasan atas pasal 2 dinyatakan : “Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum perkawinan masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945”. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU ini.

Adanya ketentuan dalam pasal 2 (1), “ Bahwa sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan dalam Penjelasan atas pasal tersebut ditegaskan, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya, jelas bahwa perkawinan antar agama tidak sah dan bukan perkawinan. (Media Dakwah, September 1997, h. 68).

Ketentuan tetrsebut tidak melanggar HAM bagi mereka yang berlainan agama untuk melakukan perkawinan, kerena masing-masing pihak dapat menggunakan haknya untuk PINDAH AGAMA yang sama dengan calon suami atau calon istri yang dipilihnya dan selanjutnya melakukan perkawinan menurut agama yang telah mereka sepakati bersama.

Membuat ketentuan untuk melegalisasikan perkawinan antar agama berarti membirkan orang untuk merusak integritas masing-masing agama serta bertentangan dengan kesadaran hukum dan keyakinan hukum bangasa Indonesia dan tentu saja bertentangan dengan PANCASILA dan UUD 1945 serta UU. No. 1/1997 tetang Perkawinan, dan tentu saja bertentangan dengan al-Quran dan Hadits.

Pembahasan

A. Arti Perkawinan

“Perkawinan” menurut istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaj”. (Kamal Mukhtar, 1974 : 1)

“Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari “nikah”, ialah “dham”, yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah “watha” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”. Dalam pernikahan bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini. (Kamal Mukhtar, Loc. Cit)

B. Pandangan Agama-agama Tentang Perkawinan Beda Agama

1. Pandangan Agama Islam

Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :

“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)

Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117)

2. Pandangan Agama Katolik

Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antar seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik, dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah.

Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal.

Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katholik menganjurkan agar pengahutnya kawin dengan orang yang beragama katholik. (Ibid. , h. 118-119).

3. Pandangan Agama Protestan

Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman.

Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987:2), maka:

Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-msing.

Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus.

Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka.

Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan.

Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman.

Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja. (Ibid. , h. 122-123) .

4. Pandangan Agama Hindu

Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Menurut Dde Pudja, MA (1975:53), suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan itu dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu perkawinan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk itu. Di samping itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande.

Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antar agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi:

Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh dan pendande/Pendeta akan menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut. (Ibid. , h. 124-125).

5. Pandangan Agama Budha

Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.

Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan. (Ibid. , h. 125).

C. MASALAH PERNIKAHAN BEDA AGAMA

1. Lelaki Ahli Kitab (Yahudi ataupun Nasrani) Haram Manikahi Muslimah

Menganai lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) haram menikahi wanita Muslimah tidak ada kesamaan lagi. Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran Surat al-Mumtahanah : 10 dan al-Baqarah : 221. Maka Imam Ibnu Qodamah Al-Maqdisi menegaskan :

“Dan tidak halal bagi Muslimah nikah dengan lelaki kafir, baik keadaanya kafir (Ahli Kitab) ataupun bukan Kitabi.” Karena Allah Ta’ala berfirman :

Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (al-Baqarah :221)

Dan firman-Nya :
“Maka jika telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-rang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (al-Mumtahanah : 10). (Hartono Ahmad Jaiz, 2004 : 272-273).

Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy Hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik Ahlul Kitab maupun bukan. (Ibid. , h. 273). Ia mendasarkan kepada firman Allah surat al-Mumtahanah : 10.

Para ulama mengemukakan larangan Muslimah dinikahi oleh lalaki Ahli Kitab atau non-Muslim itu sebagaian cukup menyebutkanya dengan lafal musyrik atau kafir, karena maknanya sudah jelas: kafir itu mencakup Ahli Kitab dan musrik. Di samping itu tidak ada ayat ataupun hadis yang membolehkan lelaki kafir baik Ahli Kitab ataupun musyrik yang boleh menikahi Muslimah setelah turun ayat 10 Surat Al-Mumtahanah. Sehingga tidak ada kesamaran lagi walupun hanya disebut kafir sudah langsung mencakup kafir dari jenis Ahli Kitab dan kafir Musyrik. Bahkan lafal musrik saja, para ulama sudah memasukan seluruh non-Muslim dalam hal lelaki musrik dilarang dinikahi dengan wanita Muslimah.

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka bereiman. “ (al-Baqarah :221)

Muhammad Ali as-Shabuni menjelaskan, di dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan orang musyrik. Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup penyembahan berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang murtad dari Islam. (Ibid. , h. 273).

Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Jangan menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mukminah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan panghinaan terhadap Islam.(Ibid. , h. 274).

Ibnu Abdil Barr berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir. (Ibid)

Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita muslimah, berdasarkan firman-Nya : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (al-Baqarah :221). (Ibid)

D. MASALAH MENIKAHI WANITA MUHSHANAT DARI KALANGAN AHLI KITAB

Ketika bolehnya menikahi wanita Ahli Kitab yang Muahshanah ‘yang menjaga diri’ dan kehormatannya sudah tsabat ‘kuat’, lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) karerna Umar berkata kepada para shabat yang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, “Talaklah mereka.” Kemudia, mereka pun mentalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar berkata kepadanya (Hudzaifah), “Talaklah.” Dia (Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?”

Umar berkata, “Dia itu jamrah ‘batu bara aktif’, maka talaklah dia.”

(Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?”

umar berkata, “Dia itu jamrah.”

Hudzaifah berkata, “Saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal.” Oleh karena itu, ketika Hudzaifah menalak wanita kitabiyah itu, ia ditanya, “Kenapa kamu tidak menalaknya ketika disuruh umar ?”

Huzaifah berkata, “Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku. Dan kerena barangkali hati Umar cendrung kepadanya (wanita kitabiyah itu), lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah atau menguji Umar. Dan barangkali di antara keduanya ada anak, maka cendrung kepada wanita kitabiyah.”(Hartono Ahmad Jaiz, 2004 : 204-205).

Syi’ah Imamiyah mengharamkan (menikahi wanita Ahli Kitab) dengan firman-Nya; “ …dan janganlah menikahi wanita musyrikat sehingga mereka beriman.” (2:221) Dan ayat; “ Dan jaganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (al-mumtahanah : 10). (Hartono Ahmad Jais, Op. Cit. , h. 284).

E. KEPUTUSAN MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG PERKAWINAN ANTAR AGAMA

Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majlis Ulama Indonesia No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan Antar Agama Umat Beragama, bahwa: (O.S, Eoh, Op.Cit. , h. 133).

1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram hukumya.

2. Seorang laki-laki muslimah diharamkan mengawini wanita bukan muslimah. Tentang perkawinan atara laki-laki muslimah dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat.

Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, maka MUI memfatwakan perkawinan tersebut haram kukumnya. Dengan adanya farwa ini maka Majelis Ulama Indonesia mengharapkan agar seorang pria Islam tidak boleh kawin dengan wanita non Iskam kareka haram hukumnya.

Selanjutnya Dr. Qurais Shihab, dengan lantang mengatakan, pernikahan ini tidak sah, baik menirut agama maupun menurut negara.

Pendapat ini di kuatkan oleh Dr. Muardi Khatib, salah seorang tokoh majelis tarjih Muhammadiyah yang berpendapat bahwa persoalan ini jelas di dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 221, disana dijelaskan sercara tegas bahwa seorang wanita Muslim Haram hukumnya menikah dengan laki-laki non Muslim -dan sebaliknya laki-laki Muslim haram menikahi wanita non Muslim, “ini sudah menjadi konsensus ulama,” tambahnya, “Kensekwensinya pernikahan ini harus dibatalkan”. Pendapat senada juga disampaikan K.H. Ibrahim Hosen yang mengatakan, menurut mazhad Syafi’I, setelah turunnya al-Quran orang Yahudi dan Nasrani tidak lagi disebut ahll kitab. (Media Dakwah, Desember 1996, h. 31).

Simpulan

Dari semua pemaparan yang penulis sampaikan di atas dari sini kita dapat menarik satu simpulan bahwa berdasarkan al-Quran surat al-Mumtahanah ayat 10, dan al-baqarah ayat 221. Bahwa pernikahan beda agama dalam ajaran Islam tidak benar dan hukumya haram.

Memang, apabila dilihat pada hukum agama-agama yang diakui di Indonesia, pada prinsipnya agama-agama tersebut tidak menghendaki adanya perkawinan antara agama.

Kini masalah kawin beda agama, ini juga aneh, kenapa kebanyakan yang melakukan protes dan tidak setuju terhadap UU No. 1 tahun 1974 yang memang tidak mengatur perkawinan beda agama itu, teryata dari golongan Nasrani. Artinya jika ia seorang praktisi hukum atau ahli hukum atau kalangan akademis, lembaga atau media masa atau apapun, jika dilacak jatidirinya teryata mereka dari golongan Nasrani.

Rupanya para tokoh Kristen dan Katolik menyadari mission mereka akan terganggu dalam kerangka Kristenisasi, jika seluruh umat Islam dengan dipacu UU Peradilan agama itu lantas menjadi taat kepada agamanya, taat kepada hukum Islam, maka mereka tidak bisa dibujuk lagi masuk Kristen. “iming-iming” apapun tidak akan mempan. Lagi pula, dalih orang Kristen bahwa di Indonesia banyak warga yang mengaku Islam tapi tidak beribadah dengan menjalankan syari’at yang benar (dengan istilah non-practising moslem) akan tipis, sehingga lahan mereka melakukan Kristenisasi pun akan terbendung secara tidak langsung dengan lahirnya UU Peradilan Agama ter-sebut. Itulah sebabnya mereka bagai kebakaran jenggot menentang RUU-PA. (Media Dakwah, Oktober 1993, h. 14).

Di Indonesia perkawinan beda agama sesungguhnya sudah diatur secara gamblang di dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 UU tersebut dikatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.”

Secara tidak langsung, berdasarkan pasal tersebut perkawinan dianggap sah bila kedua pasangan menganut agamanya yang sama. Jika berlainan agama, dengan sendirinya perkawinan tidak dapat dilangsungkan alias dianggap batal secara hukum.

Belakangan, UU itu berusaha terus digoyangkan oleh kelompok-kelompok yang merasa dirugikan, terutama kelompok Nasrani. Beberapa waktu lalu sebuah kelompok mengatasnamakan ‘Konsorsium Untuk Catatan Sipil’ melakukan kampanye untuk merevisi UU Perkawinan. Tidak itu saja, kelompok ini bahkan sudah menyiapkan draf UU Catatan Sipil untuk mensahkan perkawinan beda agama.

Di dalam draf tersebut ada pasal yang mewajibkan Kantor Catatan Sipil, memcatat perkawinan antar dua orang, meskipun mereka beda agama dan kepercayaan. Konsorsium memandang, Kantor Catatan Sipil bertugas untuk keperluan administrasi negara, bukan mencampuri masalah agama. “Ini bukan masalah agama tetapi masalah HAM,” kata koordinator Konsorsium Soelistyowati Soegondo di kantor Komnas HAM, Jakarta. Konsorsium ini memang tidak bekerja sendiri. Tetapi dibentuk atas kerja sama dengan Unicef (Badan PBB untuk pendidikan), dan perwakilan LSM dari dalam dan luar negri.

Abdurrahman Wahid – alias Gus Dur, tokoh NU, termasuk penentang UU Perkawinan. Gus Dur, malah memberi saran kepada calon-calon pengantin yang beda agama agar menikah di luar negri. Baru setelah pulang mencatatkan di Kantor Catatan Sipil sebagai pasangan yang sah. Dan belakangan acara ini menjadi tren tersendiri, terutama oleh kalangan berduit seperti selebritis.

Misalnya, pasangan Ira Wibowo dengan Katon Bagaskara, Yuni Sara, kakak penyanyi Krisdayanti. Kabarnya, kini ada 5 ribu pasangan beda agama yang antri di Singapura untuk melakukan pernikahan. Anehnya, setelah pulang ke Indonesia, pemerintah mengakui mereka sebagai pasangan suami istri yang sah. Kalau mau konsekuen, mestinya Pemerintah menanggapi mereka, lantaran melakukan zina, karena perkawinan campurnya tidak sah.

Celakanya, media massa baik elektronik maupun cetak ikut mensosialisasikan kawin campur ini. Dalam banyak tayangan dan pemberitaan, para pelaku kawin campur digambarkan sebagai pasangan yang selalu bahagia dan harmonis. “Padahal kampanye kawin beda agama yang kini sedang disosialisasikan, sebenarnya juga (termasuk) metode kristenisasi, “kata Abu Deedat. Lebih jauh, kelompok pendukung kawin campur juga berusaha memcari pijakan teologis. Mereka menggandeng para intelektual Muslim untuk melakukan re-interpretasi ayat-ayat al-Quran yang melarang kawin campur. Bertemulah mereka dengan kelompok Islam Liberal (kajian Utan Kayu) yang dipimpin Ulil Abshar Abdalla. Lewat jaringan media massa yang mereka miliki, Kajian utan Kayu gencar mensosialisasikan kawin campur. (Hartono Ahmad Jaiz, Op. Cit. ,h.227-228).

Maka dalam hal ini diperlukan sikap kritis dan obyektif dalam memandang suatu pemikiran, aliran atau paham tertentu, terutama yang sudah sering disoroti sebagai sesat, melenceng, atau nyeleneh. Karena bukan tidak mengkin ada sebab-sebab atau maksud-maksud tersembunyi di balik eksistensi suatu paham atau pemikiran. Entah itu karena motifasi duniawi yang ingin mengejar kekayaan harta benda, faktor ambisi kekuasaan, ingin sensasi dan terkenal, hendak memecah belah umat, atau memang dikarenakan ketololan sipemimpin itu sendiri, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita bisa bersikap dewasa dalam mengahadapi paham dan pemikiran yang dianggap nyeleneh, melenceng, sesat tersebut serta tidak mudah tertipu untuk larut tersesat di dalamya.

Mudah-mudahan umat Islam terhindar dari tingkah sangat buruk yang amat berbahaya dan telah kekecam oleh Allah SWT itu. Hanya Allah-lah tempat kita berlindung dan meminta pertolongan. Jauhkanlah kami ya Allah dari segala keburukan, yang lahir maupun yang batin. Amien. Tiada daya dan upaya untuk menghindari aneka keburukan yang mereka sebar-sebarkan itu kecuali dengan pertolongan-Mu, ya Allah.***

Daftar Pustaka

Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 2004.

Ahmad Jaiz, Hartono, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2004, Cet. ke-3.

_______, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Jakarta : Darul Falah, 2004, Cet. ke-1.

Asyarie, Sukmadjaja dan Yusuf, Rosy, Indeks Al-Qura’an, Bandung, Pustaka, 2003.

Eoh, O.S, Sh, MS. , Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. ke-1.

Mukhtar, Kamal, Drs. ,Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1974, Cet. ke-2.

Media Dakwah, Oktober 1993

Media Dakwah, Desember 1996

Media Dakwah, September 1997

MENGENAL DAN MENELADANI PRIBADI NABI MUHAMMAD SAW

Oleh: Zaldy Munir


NABI Muhammad Rasulullah SAW, merupakan pribadi mulia yang menarik untuk ditulis, dibaca, dan didiskusikan, sepak terjang dan keteladanannya. Pribadi paripurna itu menampilkan multikompleks sebagai politisi, negarawan, orator, pendidik, sekaligus pemimpin revolusioner besar di muka bumi ini.

Muhammad bin Abdullah lahir di kota Mekkah, 12 Rabiu’ul Awal 571 H – 20 April 571 M dikenal tahun Gajah. Lelaki itu bergelar ‘al-amien’ lahir dari keluarga miskin materi, ‘berdarah biru’ dari keluarga terhormat dan terkemuka. Pribadi mulia itu ditinggal wafat ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib ketika masih dalam kandungan dan ibunya Aminah pun wafat ketika ia masih usia dini (6 tahun).

Di usianya yang semestinya membutuhkan belaian kasih sayang orang tua, tidak didapatnya. Pada tahap perkembangan usia anak-anak justru ikut berniaga sampai ke negeri Syam. Dalam konteks kekinian, anak seusia Nabi itu masih bergantung kepada orang tuanya dihadiahi tumpukan materi.

Jika ditarik dalam kehidupan kekinian anak-anak perkotaan masih dimanjakan dengan gaya hidup hedonis. Tidak terbiasa dengan kegiatan ekonomi mambantu orang tua sebagai proses pembelajaran (baca, pendewasaan) tidak terjadi.

Dalam kapasitasnya sebagai individu, warga masyarakat (warga negara), beliau mampu menempatkan dirinya untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dengan penuh keikhlasan, tanggung jawab, dan kejujuran. Beliau diberikan gelar al-amin atau dapat dipercaya.

Sebagai nabi, ia telah memberikan contoh bagaimana memberikan teladan, mendidik, dan mengarahkan para sahabatnya-sahabatnya agar senantiasa selalu berada di jalan Allah SWT. Pada diri Rasulullah melekat sifat-sifat siddik, tabligh, amanah, dan fathanah.

Sebagai seorang pendidik, beliau mentransformasikan ilmu yang dimilikinya dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Dalam hal ini, Rasulullah SAW sangat teliti dalam mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada para sahabatnya.

Sebagai seorang pemimpin umat, beliau telah memberikan contoh, bagaimana cara memimpin yang baik dalam berbagai situasi. Beliau selalu mendelegasikan tugas dan kewenangan-kewenangan kepada para ahlinya.

Sebagai pemimpin yang sukses, Rasulullah SAW, telah berhasil membawa umatnya menjadi umat yang terbaik di muka bumi ini. Adalah sangat pantas jika beliau ditempatkan pada peringakat pertama dalam seratus tokoh berpengaruh di muka bumi ini.

Dalam meneladani kehidupan Rasulullah SAW, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu bertindak, berpikir, memimpin orang dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Apa yang dicontohkan Rasulullah adalah kesempurnaan perilaku yang sudah sepatutnya ditiru oleh kita sebagai umatnya dan dijadikan semangat bagi kita untuk terus maju dan berprestasi.

Lalu, apakah perilaku kita selama ini telah meniru keteladanan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau tidak? Apakah kita juga mempunyai semangat untuk terus maju dan berprestasi dalam berbagai bidang? ***

HATI ADALAH CERMIN

Oleh Zaldy Munir


HATI adalah cermin pribadi setiap manusia. Lalu, cermin modal manakah yang kita miliki dalam hati kita? Apakah hati kita bersih laksana cermin yang berkilau sehingga manantulkan perbuatan yang baik, ataukah malah kotor dan buram yang membuat kita selalu buruk? Hal ini sepertinya tergantung bagaimana kita merawat cermin hati yang kita miliki.

Bila kita selalu menjaga hati agar selalu bersih dan bening, maka cerminan perbuatan yang muncul pun akan selalu baik dan benar. Sebaliknya, kalau selalu membiarkan cermin hati kita kotor, dengan hiyasan perbuatan buruk kita, maka pantulan kaca hati kita pun menjadi buram.

Empat Sifat hati
Iman Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengemukakan bahwa di hati manusia berkumpul empat sifat. Sifat Sabu’iyah (kebuasan), bahimiyah (kebinatangan), syaithaniyah (kesetanan), dan rabbaniyah (ketuhanan). Masing-masing sifat itu bisa saling mengalahkan, tergantung dari manusia itu sendiri.

Kalau sifat rububiyahnya yang menang, akan timbul sifat manusia itu menjadi baik. Seperti mampu menahan hawa nafsu, qana’ah, iffah, zuhud, jujur, tawadhu, dan sejumlah sifat baik lainnya.

Manusia dengan hati yang demikian itu, senantiasa mengingat Allah. Dengan demikian, jiwanya selalu tenang dan tentaram. “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenram dengan mengingat Allah. Ingatlah , hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Rad [13] : 28). Inilah hati orang-orang yang beriman. Tidak ada kebencian, kedengkian, kesombongan, dan penyakit hati lainnya yang bersarang di dadanya.

Seperti dikatakan Rasullulah dalam sebuah Hadits. “Hati itu ada empat, yaitu hati yang bersih, di dalamnya ada pelita yang bersinar. Maka, itulah hati orang mukmin. Hati yang hitam lagi terbalik, maka itu adalah hati orang kafir. Hati yang tertutup yang terikat tutupnya, maka itu adalah hati orang munafik, serta hati yang dilapis yang di dalamnya ada iman dan nifak.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

Sementara hati yang kotor, tentunya mencerminkan perbuatan yang kotor pula. Inilah orang-orang kafir. Segala perbuatan yang dilakukannya selalu jelek dan bertentangan dengan perintah Allah. Hal ini terjadi karena cermin dari hati yang kotor itu. Akibatnya, mamantul kepada perbuatannya.

Alquran menyebutkan, hati mereka telah terkunci dengan kebenaran. Bagi mereka, dinasehati atau tidak, sama saja. Selalu yang dilakukan perbuatan buruk. Karena cermin hatinya telah terkunci dengan kotoran. “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang sangatt berat .” (QS. Al-Baqarah [2] : 6-7)

Sedangkan orang-orang munafik, di hati mereka terdapat penyakit. “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyekitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka dusta. Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah [2] : 10-12).

Begitulah fenomena sebuah hati, yang merupakan cermin bagi setiap tindak-tanduk manusia. Bila cermin itu bening, maka yang memantul adalah perbautan baik. Sebaliknya, bila hati itu kotor maka yang muncul adalah suara atau perbuatan jelak dan kemaksiatan.

Dengan demikian, ketika ada orang yang mengatakan ‘hati nurani adalah suara kebenaran,’ itu tidak selalu benar. Ini tergantung dari hati nurani siapa dahulu. Kalau hati nurani orang-orang yang beriman, itu memang suara kebenaran. Akan tetapi, kalau hati nurani orang kafir atau orang munafik, itu pasti adalah suara keburukan dan penipuan.

Karena itulah, bagi setiap orang beriman diperintahkan selalu menjaga kebeningan hatinya, yaitu dengan selalu menjalankan perintah Allah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Dengan begitu, berarti ia senantaisa menjaga kebeningan hati. Sehingga cermin yang ada di hatinya selalu bening dan akan memunculkan perbuatan yang baik. ***

MASJID SEBAGAI BENTENG PERTAHANAN UMAT ISLAM

Oleh Zaldy Munir


MASJID adalah pusat umat Islam. Ia mesti melambangkan kesyumulan atau keluasan agama, berfungsi membangunkan umat di sudut kerohanian dan fisikalnya. Memasuki masjid berarti melangkah ke kawasan yang melambangkan ketulusan, kemesraan, kerahmatan dan kesyumulan agama.

Dalam kesibukan urusan kehidupan, umat Islam diperintahkan singgah lima kali sehari di masjid demi mengambil tenaga dan meneruskan agenda perjungan sebagai khalifah pemimpin dunia. Dengan demikian, maka muncullah dalam diri setiap individu muslim dengan kekuatan yang luar biasa, gabungan antara unsur langait dan bumi, atau kerohanian dan kebendaan.

Sepanjang sejarah, masjid merupakan benteng untuk mempertahankan kehormatan agama Islam yang suci. Para pribadi agung, seperti Rasulullah Saw berserta para sahabat setianya, merupakan para pejuang yang senantaisa mempertahankan kehormatan Islam. Mereka merupakan suri teladan kecintaan, peribadatan, dan ketundukan pada Tuhan Semesta Alam. Selain itu, masjid mengingatkan ketundukan, kerendahan diri, peribadatan, dan penghambaan kepada Allah Swt.

Hati seorang mukmin sejati merupakan benteng pertahanan dalam menghadapi kaum musyrik dan kaum tak beragama; di mana, siang-malam, dia beberapa kali berdiri menghadap Allah di masjid. Rasulullah Saw dan para pribadi suci menegaskan agar shalat dilakukan secara berjamaah. Mereka juga senantiasa menjalankan dan mempertahankan ibadah nan agung ini.

Di masjid, manusia menundukan tubuh untuk bersujud. Inilah puncak penghambaan dan prendahan diri di hadapan Allah Swt, sebagaimana ditegaskan Rasulullah Saw. ”Sujud merupakan puncak penghambaan anak keturunan Adam.” Di samping bersujud, berbicara, dan berdialog, menyebut nama Allah juga amat ditekankan. ”...Dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah...” (Al-Hajj [22] : 40). Keindahan bersujud dan menyebut nama Allah adalah mengucapkannya dengan tulus dan murni, sebagaimana disebutkan dalam Alquran. ”...Dan (katakanlah), ”Luruskan muka (diri)mu disetiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya...”. (Al-A’raf [7] : 29)

Para Pembenci Masjid
Biasanya, orang yang membenci masjid adalah kafir dan pemimpin yang zalim. Orang-orang semacam itu beranggapan bahwa masjid bertengangan dengan kepentingannya.

Dalam hal ini, sebuah pemerintahan punya kukuasaan besar untuk melemahkan atau memperkuat peran masjid di tengah masyarakat. Dapat kita saksikan sepanjang sejarah bahwa berbagai masjid berperan besar dalam melemahkan kekuatan para penguasan zalim; juga mendorong masyarakat agar bangkit melawan mereka. Karenanya, masjid dan orang yang senantisa hadir di situ menjadi musuh besar mereka yang membenci masjid. Allah Swt menegaskan dalam firman-Nya, dengan menyebut mereka yang membenci masjid sebagai orang-orang zalim.

”Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam manjid-masjid-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutunya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (Al-Baqarah [2] : 114)***